Wisata Baduy
Sudahkah anda merencanakan liburan di bulan ini,tentunya mencari tempat wisata wisata yang masih sangat alami dan masih memliki adat suku baduy di tempat ini.
Rasa kantuk masih
bergelayut di Sabtu pagi itu, saya berusaha bangkit dari kasur ketika
jam alarm berbunyi pukul 5.00. Ritual pagipun segera saya jalani, antara
lain melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Selesai mandi, saya
berangkat menuju stasiun KA dekat kompleks untuk naik KRL menuju ke
Stasiun Tanahabang. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau
orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to
Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku
Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas
suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai
Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan mereka bisa
dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian,
mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern
sehingga berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu
objek wisata budaya sekaligus penelitian sejarah di daerah Banten.
Dengan berjalan kaki menuju stasiun KRL, saya mampir ke outlet jejaring
minimarket untuk membeli bekal selama perjalanan. Selesai belanja, saya
menuju stasiun yang terletak di seberang outlet itu. Pagi itu suasana
stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak
lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera
naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri
hingga tiba di tujuan. Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik
menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang
merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah
barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di
ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara
mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung
melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang.
Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun
Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada
yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam
kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah
kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan
untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika
akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Pada masa lampau,
stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat
Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian
sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk
membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi
dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan
ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur
yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta.
Uniknya, kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di
sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat
tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Di stasiun ini kami berjumpa dengan
rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami
kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak
di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu
oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke
dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak
cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau
duduk di atas atap. Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota
Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota
Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari
terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara
liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan
ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah
di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang
dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu
berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi
anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama
kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger.
Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana
kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun
dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan
menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain
ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket
yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir,
barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet
disini, mungkin disebelahnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa kantuk masih
bergelayut di Sabtu pagi itu, saya berusaha bangkit dari kasur ketika
jam alarm berbunyi pukul 5.00. Ritual pagipun segera saya jalani, antara
lain melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Selesai mandi, saya
berangkat menuju stasiun KA dekat kompleks untuk naik KRL menuju ke
Stasiun Tanahabang. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau
orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to
Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku
Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas
suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai
Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan mereka bisa
dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian,
mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern
sehingga berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu
objek wisata budaya sekaligus penelitian sejarah di daerah Banten.
Dengan berjalan kaki menuju stasiun KRL, saya mampir ke outlet jejaring
minimarket untuk membeli bekal selama perjalanan. Selesai belanja, saya
menuju stasiun yang terletak di seberang outlet itu. Pagi itu suasana
stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak
lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera
naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri
hingga tiba di tujuan. Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik
menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang
merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah
barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di
ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara
mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung
melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang.
Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun
Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada
yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam
kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah
kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan
untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika
akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Pada masa lampau,
stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat
Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian
sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk
membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi
dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan
ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur
yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta.
Uniknya, kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di
sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat
tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Di stasiun ini kami berjumpa dengan
rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami
kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak
di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu
oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke
dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak
cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau
duduk di atas atap. Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota
Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota
Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari
terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara
liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan
ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah
di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang
dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu
berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi
anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama
kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger.
Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana
kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun
dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan
menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain
ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket
yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir,
barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet
disini, mungkin disebelahnya
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa kantuk masih
bergelayut di Sabtu pagi itu, saya berusaha bangkit dari kasur ketika
jam alarm berbunyi pukul 5.00. Ritual pagipun segera saya jalani, antara
lain melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Selesai mandi, saya
berangkat menuju stasiun KA dekat kompleks untuk naik KRL menuju ke
Stasiun Tanahabang. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau
orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to
Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku
Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas
suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai
Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan mereka bisa
dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian,
mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern
sehingga berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu
objek wisata budaya sekaligus penelitian sejarah di daerah Banten.
Dengan berjalan kaki menuju stasiun KRL, saya mampir ke outlet jejaring
minimarket untuk membeli bekal selama perjalanan. Selesai belanja, saya
menuju stasiun yang terletak di seberang outlet itu. Pagi itu suasana
stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak
lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera
naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri
hingga tiba di tujuan. Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik
menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang
merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah
barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di
ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara
mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung
melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang.
Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun
Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada
yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam
kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah
kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan
untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika
akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Pada masa lampau,
stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat
Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian
sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk
membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi
dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan
ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur
yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta.
Uniknya, kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di
sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat
tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Di stasiun ini kami berjumpa dengan
rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami
kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak
di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu
oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke
dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak
cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau
duduk di atas atap. Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota
Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota
Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari
terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara
liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan
ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah
di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang
dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu
berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi
anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama
kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger.
Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana
kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun
dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan
menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain
ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket
yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir,
barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet
disini, mungkin disebelahnya
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa kantuk masih bergelayut di Sabtu pagi itu, saya berusaha bangkit dari kasur ketika jam alarm berbunyi pukul 5.00. Ritual pagipun segera saya jalani, antara lain melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Selesai mandi, saya berangkat menuju stasiun KA dekat kompleks untuk naik KRL menuju ke Stasiun Tanahabang. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan mereka bisa dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian, mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern sehingga berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu objek wisata budaya sekaligus penelitian sejarah di daerah Banten. Dengan berjalan kaki menuju stasiun KRL, saya mampir ke outlet jejaring minimarket untuk membeli bekal selama perjalanan. Selesai belanja, saya menuju stasiun yang terletak di seberang outlet itu. Pagi itu suasana stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri hingga tiba di tujuan. Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang. Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Pada masa lampau, stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta. Uniknya, kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Di stasiun ini kami berjumpa dengan rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau duduk di atas atap. Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger. Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir, barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet disini, mungkin disebelahnya.
Jam menunjukkan pukul 13.00, Ipung memberi komando untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan kami dilakukan dengan 'goyang lutut' alias jalan kaki. Rombongan kami ditemani oleh beberapa orang Suku Baduy Dalam yang telah menunggu kedatangan kami di Ciboleger, mereka bertugas sebagai penunjuk jalan. Saya jadi teringat kisah Sir Edmund Hillary warga negara Selandia Baru dan Tenzing Norgay, seseorang dari Suku Sherpa yang menjadi pemandu Edmund, melakukan pendakian puncak Everest.
Rasa ingin tahu Aldi
tentang 'kehidupan luar' cukup tinggi, dia banyak bertanya tentang diri
saya dengan aktivitasnya. Ketika saya tengah bercerita, ia menyela,
"Saya pernah nonton film di bioskop". Saya tanya, "Dimana?". "Di
Bintaro", sahut Aldi. Rupanya Aldi termasuk diantara beberapa orang Suku
Baduy Dalam yang sudah akrab dengan modernitas, namun tetap memegang
aturan adat. Dia pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi
'teman-temannya' ataupun berjualan madu hutan. 'Teman-teman' yang
dimaksud Aldi adalah para travelers yang pernah atau bahkan sering
mengunjunggi masyarakat Suku Baduy Dalam. Ketika pergi ke Jakarta Aldi
berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api sebagai panduan arah. Hari
menjelang petang, jam menunjukkan pukul 17.45, saya tiba di
Perkampungan Suku Baduy Dalam. Rekan-rekan 'kloter depan' yang tiba
lebih dahulu rupanya baru saja selesai mandi di sungai yang mengelilingi
perkampungan ini. Di wilayah Baduy Dalam, para pendatang dilarang untuk
mengambil gambar dan menyalakan alat komunikasi. Melihat air sungai
yang jernih, dan untuk menghilangkan kotoran dan rasa pegal di sekujur
badan, saya segera melepas pakaian dan langsung menceburkan diri ke
sungai itu. Saya menikmati dinginnya air sungai sambil membersihkan
badan tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi yang memang dilarang dalam
aturan adat masyarakat ini, pun berlaku bagi pendatang. Sebuah kekayaan
alam dan budaya kita yang tersembunyi telah telah saya nikmati. Selesai
mandi, saya segera menuju rumah tempat kami menginap. Rombongan kami
dibagi ke dalam dua rumah, satu untuk para pria dan satunya lagi untuk
para wanita. Di dalam rumah, kami melepas lelah sambil mengobrol. Rumah
masyarakat Baduy Dalam jauh lebih sederhana dibandingkan rumah Suku
Baduy Luar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat
dari daun kering, tanpa ornamen-ornamen yang menghiasinya dan tanpa
jendela sebagai ventilasi. Sedangkan rumah Suku Baduy Luar masih
terdapat ornamen-ornamen yang menghiasinya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa ingin tahu Aldi tentang 'kehidupan luar' cukup tinggi, dia banyak bertanya tentang diri saya dengan aktivitasnya. Ketika saya tengah bercerita, ia menyela, "Saya pernah nonton film di bioskop". Saya tanya, "Dimana?". "Di Bintaro", sahut Aldi. Rupanya Aldi termasuk diantara beberapa orang Suku Baduy Dalam yang sudah akrab dengan modernitas, namun tetap memegang aturan adat. Dia pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi 'teman-temannya' ataupun berjualan madu hutan. 'Teman-teman' yang dimaksud Aldi adalah para travelers yang pernah atau bahkan sering mengunjunggi masyarakat Suku Baduy Dalam. Ketika pergi ke Jakarta Aldi berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api sebagai panduan arah. Hari menjelang petang, jam menunjukkan pukul 17.45, saya tiba di Perkampungan Suku Baduy Dalam. Rekan-rekan 'kloter depan' yang tiba lebih dahulu rupanya baru saja selesai mandi di sungai yang mengelilingi perkampungan ini. Di wilayah Baduy Dalam, para pendatang dilarang untuk mengambil gambar dan menyalakan alat komunikasi. Melihat air sungai yang jernih, dan untuk menghilangkan kotoran dan rasa pegal di sekujur badan, saya segera melepas pakaian dan langsung menceburkan diri ke sungai itu. Saya menikmati dinginnya air sungai sambil membersihkan badan tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi yang memang dilarang dalam aturan adat masyarakat ini, pun berlaku bagi pendatang. Sebuah kekayaan alam dan budaya kita yang tersembunyi telah telah saya nikmati. Selesai mandi, saya segera menuju rumah tempat kami menginap. Rombongan kami dibagi ke dalam dua rumah, satu untuk para pria dan satunya lagi untuk para wanita. Di dalam rumah, kami melepas lelah sambil mengobrol. Rumah masyarakat Baduy Dalam jauh lebih sederhana dibandingkan rumah Suku Baduy Luar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat dari daun kering, tanpa ornamen-ornamen yang menghiasinya dan tanpa jendela sebagai ventilasi. Sedangkan rumah Suku Baduy Luar masih terdapat ornamen-ornamen yang menghiasinya.
Jadi apakah sudah mempersiapkan semua dari segi Sewa mobil dan akomadasinya.Untuk itu segera hubungi marketing kami di 081281545681
Rasa ingin tahu Aldi
tentang 'kehidupan luar' cukup tinggi, dia banyak bertanya tentang diri
saya dengan aktivitasnya. Ketika saya tengah bercerita, ia menyela,
"Saya pernah nonton film di bioskop". Saya tanya, "Dimana?". "Di
Bintaro", sahut Aldi. Rupanya Aldi termasuk diantara beberapa orang Suku
Baduy Dalam yang sudah akrab dengan modernitas, namun tetap memegang
aturan adat. Dia pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi
'teman-temannya' ataupun berjualan madu hutan. 'Teman-teman' yang
dimaksud Aldi adalah para travelers yang pernah atau bahkan sering
mengunjunggi masyarakat Suku Baduy Dalam. Ketika pergi ke Jakarta Aldi
berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api sebagai panduan arah. Hari
menjelang petang, jam menunjukkan pukul 17.45, saya tiba di
Perkampungan Suku Baduy Dalam. Rekan-rekan 'kloter depan' yang tiba
lebih dahulu rupanya baru saja selesai mandi di sungai yang mengelilingi
perkampungan ini. Di wilayah Baduy Dalam, para pendatang dilarang untuk
mengambil gambar dan menyalakan alat komunikasi. Melihat air sungai
yang jernih, dan untuk menghilangkan kotoran dan rasa pegal di sekujur
badan, saya segera melepas pakaian dan langsung menceburkan diri ke
sungai itu. Saya menikmati dinginnya air sungai sambil membersihkan
badan tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi yang memang dilarang dalam
aturan adat masyarakat ini, pun berlaku bagi pendatang. Sebuah kekayaan
alam dan budaya kita yang tersembunyi telah telah saya nikmati. Selesai
mandi, saya segera menuju rumah tempat kami menginap. Rombongan kami
dibagi ke dalam dua rumah, satu untuk para pria dan satunya lagi untuk
para wanita. Di dalam rumah, kami melepas lelah sambil mengobrol. Rumah
masyarakat Baduy Dalam jauh lebih sederhana dibandingkan rumah Suku
Baduy Luar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat
dari daun kering, tanpa ornamen-ornamen yang menghiasinya dan tanpa
jendela sebagai ventilasi. Sedangkan rumah Suku Baduy Luar masih
terdapat ornamen-ornamen yang menghiasinya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa ingin tahu Aldi
tentang 'kehidupan luar' cukup tinggi, dia banyak bertanya tentang diri
saya dengan aktivitasnya. Ketika saya tengah bercerita, ia menyela,
"Saya pernah nonton film di bioskop". Saya tanya, "Dimana?". "Di
Bintaro", sahut Aldi. Rupanya Aldi termasuk diantara beberapa orang Suku
Baduy Dalam yang sudah akrab dengan modernitas, namun tetap memegang
aturan adat. Dia pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi
'teman-temannya' ataupun berjualan madu hutan. 'Teman-teman' yang
dimaksud Aldi adalah para travelers yang pernah atau bahkan sering
mengunjunggi masyarakat Suku Baduy Dalam. Ketika pergi ke Jakarta Aldi
berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api sebagai panduan arah. Hari
menjelang petang, jam menunjukkan pukul 17.45, saya tiba di
Perkampungan Suku Baduy Dalam. Rekan-rekan 'kloter depan' yang tiba
lebih dahulu rupanya baru saja selesai mandi di sungai yang mengelilingi
perkampungan ini. Di wilayah Baduy Dalam, para pendatang dilarang untuk
mengambil gambar dan menyalakan alat komunikasi. Melihat air sungai
yang jernih, dan untuk menghilangkan kotoran dan rasa pegal di sekujur
badan, saya segera melepas pakaian dan langsung menceburkan diri ke
sungai itu. Saya menikmati dinginnya air sungai sambil membersihkan
badan tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi yang memang dilarang dalam
aturan adat masyarakat ini, pun berlaku bagi pendatang. Sebuah kekayaan
alam dan budaya kita yang tersembunyi telah telah saya nikmati. Selesai
mandi, saya segera menuju rumah tempat kami menginap. Rombongan kami
dibagi ke dalam dua rumah, satu untuk para pria dan satunya lagi untuk
para wanita. Di dalam rumah, kami melepas lelah sambil mengobrol. Rumah
masyarakat Baduy Dalam jauh lebih sederhana dibandingkan rumah Suku
Baduy Luar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat
dari daun kering, tanpa ornamen-ornamen yang menghiasinya dan tanpa
jendela sebagai ventilasi. Sedangkan rumah Suku Baduy Luar masih
terdapat ornamen-ornamen yang menghiasinya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590
Rasa kantuk masih
bergelayut di Sabtu pagi itu, saya berusaha bangkit dari kasur ketika
jam alarm berbunyi pukul 5.00. Ritual pagipun segera saya jalani, antara
lain melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Selesai mandi, saya
berangkat menuju stasiun KA dekat kompleks untuk naik KRL menuju ke
Stasiun Tanahabang. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau
orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to
Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku
Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas
suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai
Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan mereka bisa
dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian,
mereka tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern
sehingga berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu
objek wisata budaya sekaligus penelitian sejarah di daerah Banten.
Dengan berjalan kaki menuju stasiun KRL, saya mampir ke outlet jejaring
minimarket untuk membeli bekal selama perjalanan. Selesai belanja, saya
menuju stasiun yang terletak di seberang outlet itu. Pagi itu suasana
stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak
lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera
naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri
hingga tiba di tujuan. Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik
menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang
merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah
barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di
ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara
mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung
melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang.
Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun
Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada
yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam
kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah
kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan
untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika
akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung. Pada masa lampau,
stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat
Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian
sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk
membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi
dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan
ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur
yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta.
Uniknya, kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di
sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat
tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Di stasiun ini kami berjumpa dengan
rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami
kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak
di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu
oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke
dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak
cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau
duduk di atas atap. Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota
Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota
Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari
terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara
liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan
ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah
di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang
dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu
berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi
anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama
kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger.
Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana
kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun
dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan
menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain
ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket
yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir,
barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet
disini, mungkin disebelahnya
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/r1n4ld1/catatan-kecil-perjalanan-mengunjungi-suku-baduy-dalam_5528befe6ea834db2e8b4590